<div> Hari Raya Galungan menurut Parisada Hindu Dharma Indonesia dalam sejarah Hari Raya Galungan, asal</div> <div> kata "Galungan" adalah berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan</div> <div> juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang.</div> <div>  </div> <div> Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang</div> <div> kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.</div> <div> Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan</div> <div> Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.</div> <div> Dalam lontar Purana Bali Dwipa, Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada</div> <div> hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan</div> <div> Indra Loka.</div> <div>  </div> <div> Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah.</div> <div> Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar</div> <div> pertimbangannya , pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan.Itu terjadi ketika Raja Sri</div> <div> Ekajaya memegang tampuk pemerintahan.</div> <div>  </div> <div> Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama</div> <div> Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon</div> <div> menjadi relatif pendek.</div> <div> Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan</div> <div> dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat</div> <div> pada lontar Sri Jayakasunu.Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran</div> <div> mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek.</div> <div>  </div> <div> Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang</div> <div> terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Para Dewa. Dewa Sraya itu</div> <div> dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata,</div> <div> Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durga (Dewi Durgha), sakti</div> <div> dari Dewa Siwa.</div> <div>  </div> <div> Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek</div> <div> karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu</div> <div> supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah</div> <div> berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari</div> <div> Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).</div> <div>  </div> <div> Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu</div> <div> upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif ( Buta Kala) dari diri manusia dan</div> <div> lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi</div> <div> dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.</div> <div>  </div> <div> Makna Filosofis Galungan , adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian</div> <div> yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan</div> <div> segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.</div> <div> Dari konsepsi lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat</div> <div> Galungan adalah merayakan menangnya dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan).(004/KIMSDG)</div>
HARI RAYA GALUNGAN
27 May 2018